Sabtu, 10 Desember 2011

ANALISIS PEMBELAJARAN


PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Setiap akan melakukan proses pembelajaran, seorang pengajar akan menyiapkan sebuah desain pembelajaran. Diantara pengajar itu ada yang mempersiapkan seluruh kegiatan pembelajarannya secara khusus jauh sebelum memulainya dan ada pula yang membuat persiapannya untuk setiap kali proses pembelajarannya. Kelompok pengajar yang lain merasa tidak perlu membuat persiapan apapun sebelum memulai proses pembelajaran.
Kelompok yang terakhir di atas langsung mengajar karena merasa telah dapat mengajar dengan baik apabila mengetahui topik yang akan diajarkan untuk setiap kali pertemuan. Setiap pengajar baik yang membuat persiapan maupun tidak, selalu mencari cara untuk melaksanakan kegiatan instruksionalnya dengan sebaik-baiknya. Demikian pula setiap pengelola program pendidikan dan latihan senantiasa mencari jalan meningkatkan programnya melalui cara yang dianggapnya baik.
Setiap pengajar yang membuat persiapan dalam proses pembelajaran selalu diawali dengan membuat tujuan instruksional umum (TIU). Tetapi ada pula pengembang instruksional termasuk pengajar melompat dari TIU ke TIK, tes, atau isi pelajaran tanpa melalui analisis instruksional (analisis pembelajaran) sehingga menghasilkan kegiatan instruksional yang tidak sistematis.
Implikasi proses pengembangan instruksional yang melompat antara lain yaitu daftar TIK yang telah disusun tidak konsisten dengan TIU-nya seperti kurang lengkap atau berlebihan, materi tes tidak terperinci, urutan isi pelajaran kurang sistematis, titik berangkat materi pelajaran tidak sesuai dengan kemampuan awal peserta didik, dan cara penyajiannya tidak sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Ketrampilan melakukan analisis instruksional (pembelajaran) sangat penting bagi kegiatan instruksional karena pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus diberikan lebih dahulu dari yang lain dapat ditentukan dari hasil analisis instruksional. Dengan demikian pengajar jelas melihat arah kegiatan instruksionalnya secara bertahap menuju pencapaian TIU sehingga pengajar terhindar dari pemberian isi pelajaran yang tidak relevan dengan TIU.
  1. Rumusan Masalah
Dari uaraian latar belakang di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian Analisis instruksional ?
2.      Apa sajakah yang termasuk empat macam struktur perilaku ?
3.      Bagaimakah langkah-langkah melakukan analisis instruksional ?
4.      Bagaimanakah praktek analisis pembelajaran?

PEMBAHASAN
Pada bab Pembahasan akan diuraikan tentang Analisis Pembelajaran (Instruksional) yang meliputi tiga sub bab yaitu Pengertian Analisis Instruksional, Empat Macam Struktur Perilaku, dan Langkah-langkah Melakukan Analisis Instruksional.
1.      Pengertian Analisis Instruksional
Analisis instruksional merupakan proses menjabarkan perilaku umum ke perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis. Kegiatan tersebut untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara lebih terperinci. Kedudukan perilaku khusus dilakukan lebih dahulu daripada perilaku lainnya karena sebagai perilaku prasyarat, yaitu perilaku yang menurut urutan gerakan fisik berlangsung lebih dahulu, perilaku yang menurut proses psikologis muncul terlebih dahulu atau secara kronologis terjadi lebih awal.
Analisis instruksional dapat menggambarkan susunan perilaku khusus dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Menurut Muhibbin Syah (Muhibbin Syah, 2004: 181-182) jumlah dan susunan perilaku tersebut akan memberikan keyakinan kepada pengajar bahwa perilaku umum yang tercantum dalam TIU dapat dicapai secara efektif dan efisien. Melalui tahapan perilaku-perilaku khusus tertentu siswa dapat mencapai perilaku umum. Perilaku khusus yang telah disusun secara sistematis menuju perilaku umum bagaikan jalan yang singkat yang harus dilalui oleh para siswa untuk mencapai tujuannya dengan baik.
2.      Empat Macam Struktur Perilaku
Bila perilaku umum diuraikan menjadi perilaku khusus akan terdapat empat macam susunan, yaitu hierarkikal, prosedural, pengelompokan, dan kombinasi.
a.       Struktur Hierarkikal
Struktur perilaku yang hierarkikal adalah kedudukan dua perilaku yang menunjukkan bahwa perilaku hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai perilaku yang lain. Perilaku B misalnya, hanya dapat dipelajari bila siswa telah dapat melakukan perilaku A. Kedudukan A dan B disebut hierarkikal. Dalam suatu kurikulum, mata pelajaran A merupakan prasyarat untuk mengikuti pelajaran B, atau Kompetensi Dasar (KD) A merupakan prasyarat untuk mengikuti Kompetensi Dasar (KD) B. Tanpa lulus KD A siswa tidak boleh atau tidak mungkin langsung mengikuti KD B. Perhatikan contoh-contah perilaku di bawah ini :
1)      Kedudukan perilaku mengamati jaringan tumbuhan dan memahami sel tumbuhan. Mengamati jaringan tumbuhan seperti mengamati sel penyusun, bentuk sel penyusun, ukuran sel penyusun tidak mungkin dilakukan bila siswa belum memahami tentang sel tumbuhan.


 






Kedua perilaku tersebut tersusun secara hierarkikal. Memahami pengertian sel tumbuhan merupakan prasyarat untuk dapat mengamati jaringan tumbuhan.
2)      Kedudukan perilaku memahami penulisan kalimat pernyataan dengan tanda baca penutup yang tepat hanya dapat diketahui dengan cara mengenali terlebih dahulu kalimat pernyataan dengan tanda baca penutup yang tepat, pemilihan tanda baca penutup yang tepat dalam kalimat pernyataan dan mengklasifikasikan sebuah kalimat lengkap sebagai kalimat pernyataan.

 














Setiap contoh di atas dapat diteruskan dengan menambah kotak di bawah atau di atas kedua kotak yang telah ada. Untuk menunjukkan struktur hierarkikal, kotak tambahan harus menunjukkan perilaku prasyaratnya (bila di bawah) atau perilaku yang lebih tinggi tingkatannya (bila di atas). Untuk menunjukkan struktur perilaku hierarkikal yang berbeda dengan struktur yang lain, kedua kotak dalam setiap kotak tadi disusun atas-bawah dan dihubungkan dengan garis vertikal.
  1. Struktur Prosedural
Struktur perilaku prosedural adalah kedudukan beberapa perilaku yang menunjukkan satu seri urutan perilaku, tetapi tidak ada perilaku yang menjadi prasyarat untuk yang lain.Walaupun perilaku khusus dilakukan berurutan untuk dapat melakukan perilaku umum, tetapi setiap perilaku dapat dipelajari secara terpisah. Di bawah ini beberapa contoh perilaku yang tersusun secara prosedural.
1)      Dalam menggunakan mikroskop cahaya, sedikitnya ada empat perilaku khusus yang terstruktur secara prosedural.
a)      Mengatur focus
b)      Meletakkan preparat pada kaca benda
c)      Menggambar preparat
d)     Mengatur cahaya
Siswa dapat mempelajari cara mengatur cahaya dahulu. Pada kesempatan lain ia belajar meletakkan preparat pada kaca benda, kemudian mengatur fokus dan menggambar preparat.
2)      Dalam menggunakan OHP sedikitnya ada tiga perilaku khusus yang terstruktur secara prosedural.
a)      Menempatkan transparansi di atas OHP
b)      Menyalakan OHP
c)      Mengatur focus
Siswa dapat mempelajari cara mengatur fokus lebih dahulu. Pada kesempatan lain ia belajar menempatkan ransparansi di atas OHP dan kemudian menyalakannya. Tetapi dalam kegiatan keeluruhan ketiga perilaku tersebut muncul secara berurutan muncul sebagai seri perilaku.
Perilaku yang tersusun secara prosedural dilukiskan kotak-kotak yang berderet ke samping dan dihubungkan dengan garis horisontal. Bila dilukiskan pada bagan mudah dibedakan dari perilaku yang tersusun secara hierarkikal yang tampak dihubungkan dengan garis vertikal.
  1. Struktur Pengelompokan
Dalam struktur pengelompokan terdapat perilaku-perilaku khusus yang tidak mempunyai ketergantungan satu sama lain, walaupun semuanya berhubungan. Dalam keadaan seperti itu, garis penghubung antara perilaku-perilaku khusus yang satu dan yang lain tidak diperlukan. Sebagai contoh dalam mata pelajaran biologi yang menjelaskan sistem organ pada tubuh manusia. Bila digambarkan dalam bagan, kedudukan perilaku-perilaku khusus tersebut tampak sebagai berikut :


 














  1. Struktur Kombinasi
Suatu perilaku umum bila diuraikan menjadi perilaku khusus sebagian tersebar akan terstruktur secara kombinasi antara struktur hierarkikal, prosedural, dan pengelompokan. Sebagian dari perilaku khusus yang terdapat di dalam ruang lingkup perilaku umum itu mensyaratkan perilaku khusus yang lain. Selebihnya merupakan urutan penampilan perilaku khusus dan umum.
Contoh dari perilaku struktur kombinasi adalah perilaku umum mengoperasikan mikroskop cahaya dapat diuraikan dalam perilaku khusus sebagai berikut :
1. Mengoprasikan mikroskop
1.1  Meletakkan preparat pada kaca benda
1.1.1 Menjelaskan teknik meletakkan preparat pada kaca benda
1.2  Menggambar preparat
1.2.1  Menjelaskan teknik menggambar preparat
1.3  Mengatur cahaya
1.3.1  Menjelaskan teknik mengatur cahaya
1.4  Mengatur focus
1.4.1  Menjelaskan teknik mengatur focus
Perilaku umum mengoperasikan mikroskop cahaya terbentuk dengan merangkaikan perilaku meletakkan preparat pada kaca benda, mengatur cahaya, mengatur fokus, dan menggambar preparat. Perilaku merangkaikan tersebut dapat dilakukan bila telah menguasai keempat perilaku yaitu meletakkan preparat pada kaca benda, mengatur cahaya, mengatur fokus, dan menggambar preparat yang tentu saja membutuhkan prasyarat.
Setiap orang dapat memilih perilaku mana yang harus didahulukan diantara empat perilaku khusus tersebut. Karena itu kedudukan keempat perilaku tersebut antara satu dan yang lain terstruktur sebagai prosedural, karena dalam merangkaikan keempatnya berurutan. Perilaku meletakkan preparat pada kaca benda mempunyai prasyarat perilaku menjelaskan teknik meletakkan preparat pada kaca benda. Perilaku mengatur cahaya mempunyai prasyarat perilaku menjelaskan teknik mengatur cahaya. Demikian pula perilaku mengatur fokus mempunyai prasyarat perilaku menjelaskan teknik mengatur fokus. Sedangkan perilaku menggambar preparat memerlukan prasyarat menjelaskan teknik menggambar preparat. Bagan di atas menunjukkan struktur kombinasi antara prosedural dan hierarkikal.
Beberapa contoh di atas adalah perilaku yang berada dalam kawasan kognitif dan psikomotor. Sementara itu Nana Sudjana (2002: 22-23) berpendapat bahwa belajar secara sistematis meliputi berbagai perilaku sebagai berikut: Perilaku kognitif, Perilaku afektif, Perilaku psikomotorik

1. Perilaku Kawasan Kognitif
Perilaku kawasan kognitif adalah perilaku yang merupakan hasil proses berpikir atau perilaku hasil kerja otak. Bloom dalam Atwi Suparman (2001:108) membagi kawasan kognitif menjadi enam tingkatan yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam tingkatan tersebut merupakan tingkatan perilaku kognitif dari yang paling rendah (sederhana) sampai ke yang paling tinggi (kompleks). Memecahkan masalah instruksional secara sistematis merupakan contoh perilaku kawasan kognitif.
Gagne dalam Atwi Suparman (2001:108) membagi kapabilitas manusia dalam kawasan kognitif menjadi tiga macam, yaitu ketrampilan intelektual, strategi kognitif, dan informasi verbal. Ketrampilan teknis dalam ilmu pengetahuan adalah contoh ketrampilan intelektual, ketrampilan dalam mencari cara pemecahan masalah adalah contoh strategi kognitif. Sedangkan contoh informasi verbal adalah ketrampilan mengungkapkan kembali pengetahuan verbal yang telah dimiliki.
2. Perilaku Kawasan Psikomotor
Perilaku kawasan psikomotor adalah perilaku yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh manusia. Gerakan tubuh, berlari. Melompat, melempar, berputar, memukul dan menendang adalah perilaku psikomotor. Dave dalam Atwi Suparman (2001:109) membagi perilaku kawasan psikomotor dalam lima jenjang perilaku yaitu : menirukan gerak, memanipulasikan kata-kata menjadi gerak, melakukan gerak dengan tepat, merangkaikan berbagai gerak, dan melakukan gerak dengan gerakan wajar dan efisien.
3. Perilaku kawasan Afektif
Perilaku kawasan afektif adalah perilaku yang dimunculkan seseorang sebagai pertanda kecenderungan untuk membuat keputusan atau pilihan untuk beraksi dalam lingkungan tertentu. Bloom dan Masia dalam Atwi Suparman (2001:109) membagi kawasan afektif menjadi lima tingkatan kemampuan yaitu: menerima nilai, membuat respon terhadap nilai, menghargai nilai-nilai yang ada, mengorganisasikan nilai, dan mengamalkan nilai secara konsisten atau karakterisasi. Sikap tidak tampak oleh mata tetapi berada “di dalam” hati.
Menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus dalam kawasan afektif pada dasarnya tidak berbeda dengan kawasan kognitif dan kawasan psikomotorik. Setelah diketahui perilaku umum yang terdapat dalam Tujuan Instruksional Umum pengembang instruksional selanjutnya mencari jawaban atas pertanyaan; “Perilaku khusus apa saja yang mengacu kepada munculnya perilaku umum tersebut ?”Untuk mencari jawaban pertanyaan tersebut, pengembang instruksional melakukan analisis instruksional dengan langkah-langkah yang sistematis
3.      Langkah-langkah Melakukan Analisis Instruksional
Langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan analisis instruksional adalah sebagai berikut :
a.       Menuliskan perilaku umum yang terdapat dalam TIU untuk mata pelajaran yang akan dikembangkan
b.      Menulis perilaku khusus yang menjadi bagian dari perilaku umum. Jumlah perilaku khusus setiap perilaku umum berkisar 5-10 buah, bisa bertambah bila diperlukan
c.       Menyusun perilaku khusus dari yang paling “dekat” sampai yang “jauh” hubungannya dengan perilaku umum dalam daftar.
d.      Menambah atau mengurangi perilaku tersebut jika diperlukan.
e.       Menulis perilaku khusus dalam kartu dengan ukuran 3 x 5 cm
f.       Menyusun kartu dalam struktur hierarkikal, prosedural, atau pengelompokan menurut kedudukan masing-masing terhadap kartu yang lain.
g.      Tambah atau kurangi perilaku khusus jika dianggap perlu, sampai tidak ada lagi perilaku khusus yang ketinggalan atau kelebihan serta susunannya menurut struktur hierarkikal, prosedural, pengelompokan atau kombinasi.
h.      Menggambar letak perilaku-perilaku tersebut dalam kotak-kotak.
i.        Meneliti kemungkinan menghubungkan perilaku umum yang satu dan yang lain, atau perilaku khusus yang berada di bawah perilaku umum yang berbeda.
j.        Memberi nomor urut pada setiap perilaku khusus dari yang terjauh sampai yang terdekat dengan perilaku umum.
k.      Mengkonsultasikan atau mendiskusikan bagan yang telah dibuat dengan teman sejawat untuk mendapatkan masukan, dengan memperhatikan :
Ø  Lengkap tidaknya perilaku khusus sebagai penjabaran dari setiap perilaku umum
Ø  Logis tidaknya urutan dari perilaku-perilaku khusus menuju perilaku umum
Ø  Struktur hubungan perilaku-perilaku khusus tersebut (hierarkikal, prosedural, pengelompokan, atau kombinasi).

PENUTUP
Kesimpulan
Ketrampilan melakukan analisis instruksional (pembelajaran) sangat penting bagi kegiatan instruksional karena pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus diberikan lebih dahulu dari yang lain dapat ditentukan dari hasil analisis instruksional. Dengan demikian pengajar jelas melihat arah kegiatan instruksionalnya secara bertahap menuju pencapaian TIU sehingga pengajar terhindar dari pemberian isi pelajaran yang tidak relevan dengan TIU.
Kegiatan analisis instruksional merupakan proses menjabarkan perilaku umum ke perilaku khusus yang tersusun senara logis dan sistematis. Kegiatan tersebut untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara lebih terperinci. Dalam menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus terdapat empat macam susunan, yaitu struktur hierarkikal, prosedural, pengelompokan dan struktur kombinasi. Analisis instruksional dilakukan oleh pengembang instruksional dengan langkah-langkah yang sistematis.





DAFTAR PUSTAKA

Afiuddin, Nur. 2009. Analisis Instruksional  http://begawanafif.blogspot.com/2009/02/analisis-instruksional.html. Diakses pada 29 September 2011.
Atwi Suparman, M. 2001. Desain Instruksional. Jakarta : PAU-PPAI-UT
Dick, Walter and Carey Lou, 1990. The Systematic Design of instruction 3rd Ed, Includes Bibliographical References, USA, Walter Dick and Lou Carey.
Nurhidayatullah, Syahrir. 2011. Resume Analisis Intraksional. http://tpers.net/2011/04/resum-analisis-instruksional-syahrir-nurhidayatulloh/
Sudjana, Nana 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Rosda.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Jakarta. Rosda.


MODEL-MODEL ORGANISASI


MODEL-MODEL ORGANISASI

A.    Model Birokrasi
Sebuah pandangan dari organisasi tradisional formal yang menurut ahli sosial lebih baik dari pada penyelidik orientasi menejemen didalilkan oleh  Max Webber di masa peralihan abad. Dalam pandangan Webber, bentuk birokrasi merupakan tipe organisasi paling efektif dalam masyarakat modern. Pada dasarnya, dia ingin membangun sebuah gagasan organisasi dimana akan tersedia sebuah pemahaman maksimal terhadap tingkah laku manusia. Hal ini tentu saja berbeda dengan sebutan “birokrasi” yang sering diarahkan dalam skala besar, yaitu pemerintahan rumit atau unit bisnis. Berbicara mengenai keuntungan teknis dari birokrasi, Weber mengatakan:
Alasan tegas untuk selalu mendahulukan organisasi birokrasi dibandingkan dengan bentuk organisasi lainnya adalah murni mengenai keunggulan teknis. Pengembangan mekanisme birokrasi dibandingkan dengan organisasi lainnya benar-benar seperti kinerja mesin dengan kinerja non-mesin dalam hal produktifitas.
Ketelitian, kecepatan, kejelasan, pengetahuan tentang data-data, kesinambungan, keleluasaan, kesatuan, ketelitian subordinat, berkurangnya gesekan serta berkurangnya biaya materi dan personal—semua itu didapatkan dalam titik optimal pada administrasi birokrasi dengan teliti, dan kususnya pada bentuk monokrasi.[1]

Aspek kedua teori birokrasi dari Webber adalah penekanannya pada universalitas. Dia menganjurkan bahwa bentuk organisasi ini akan menghasilkan hasil yang paling efisien diberbagai macam unit organisasi, mulai dari perusahaan bisnis, unit pemerintahan, operasi militer, dan asosiasi persatuan buruh. Literatur penganut Birokrasi Webber menyarankan dimensi-dimensi berikut yang menjadi elemen kunci birokrasi “tipe ideal”  :
1.    Bagian Ketanagakerjaan didasarkan pada spesialisasi fungsi.
2.    Penentuan hirarki kekuasaan.
3.    Aturan-aturan sistem yang mencakup hak dan kewajiban tiap-tiap posisi yang dijabat.
4.    Prosedur sistem menyesuaikan situasi kerja.
5.    Hubungan impersonal dan interpersonal
6.    Promosi dan seleksi karyawan didasarkan pada kompetensi teknis.[2]

Pada dasarnya pendirian Webber adalah bahwa manusia tidak dapat ditebak, seringkali emosional, terkadang rasional, dan hal tersebut akan mengganggu efektifitas kinerja organisasi. Oleh karena itu dia kemudian mengatur sebuah model birokrasi ideal sebagai sebuah bentuk antipersonal dari sebuah organisasi dimana akan meminimalisir dampak ketidakteraturan manusia. Dia menempatkan mekanisme birokrasinya dalam kekuasaan institusional oleh masyarakat, yaitu sebuah tipe legitimasi kekuasaan oleh sebuah masyarakat yang membuat orang melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Model birokrasi Webber umumnya sama dengan konsep tradisional yang telah banyak didisusikan sebelumnya. Model Birokrasi Webber tampak mekanistik dan impersonal dan sangat kontras dengan konsep-konsep yang akan dikemukakan selanjutnya.[3]
B.     Model Behavioral
Konsep organisasi behavioral mencakup sebuah reaksi perlawanan terhadap prasangka mekanistik dan impersonal pada mazhab klasik. Pandangan ini, berpangkal dari pemikiran Hawtorn Western Electrik selama kurun waktu tahun 1920 dan 1930, pergeseran fokus dari model rasional dalam teori tradisional menuju model behavioristik yang disetujui orang sebagaimana yang dilakukannya. Pada dasarnya, Mazhab ini menyetujui aspek struktural dalam organisasi sebagaimana didiskusikan sebelumnya, akan tetapi konsepnya dimodifikasi dengan mempertimbangkan sumberdaya manusia dan hubungan informal kelompok dalam organisasi.
Mayo, Roethlisberger, Whitehead dan para ahli hubungan kemanusiaan banyak mengembangkan konsep tentang tingkah laku manusia dalam organisasi, yaitu:
1. Organisasi Bisnis adalah sebuah sistem sosial yang sejalan dengan sistem ekonomi teknis. Sistem sosial ini menentukan tugas-tugas individu dan menetapkan norma-norma yang mungkin menjadi variasi dalam organisasi formal.
2.  Individu tidak hanya dimotivasi oleh insentif ekonomi, tetapi oleh berbagai faktor sosial dan psikologi. Tingkah lakunya dipengaruhi oleh perasaan, sentimental dan sikap-sikap yang dimilikinya.
3. Kelompok kerja informal menjadi pertimbangan  utama. Kelompok tersebut memiliki tugas penting dalam menentukan sikap dan kinerja pekerja individu.
4. Bentuk kepemimpinan didasarkan pada struktur formal dan posisi kekuasaan dalam organisasi di bawah pandangan tradisional yang mengharuskan untuk dimodifikasi secara substansial dalam upaya mempertimbangkan faktor psikologi. Hubungan kemanusiaan lebih menekankan demokrasi dari pada bentuk kepemimpinan yang otoriter.
5. Hubungan kemanusiaan pada umumnya mengaitkan kepuasan pekerja dengan produktifitas dan menekankan bahwa dengan meningkatkan kepuasan maka akan mudah meningkatkan efisiensi.
6. Sangat penting mengembangkan saluran komunikasi yang efektif diantara berbagai level hirarkis yang memperkenankan pertukaran informasi. Jadi “partisipasi” menjadi sebuah pendekatan penting dalam pergerakan hubungan kemanusiaan.
7. Pengelolaan mensyaratkan efektifitas kemampuan sosial dan juga kemampuan teknis.
8. Partisipan dapat dimotivasi dalam organisasi dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologi sosialnya.
Pandangan hubungan kemanusiaan menjadi garis depan dalam membawa konsep organisasi sebagai sebuah sistem total yang mencakup individu, kelompok informal, hubungan antar kelompok,dan hubungan formal. Akibatnya, mazhab ini menempatkan elemen manusia kembali dalam organisasi (elemen yang mana di mazhab tradisional telah benar-benar di kesampingkan).[4]
Konsep hubungan kemanusiaan yang dikembangkan oleh ahli hubungan kemanusiaan telah meluas dan dimodifikasi oleh para ilmuan behavioral yang tertarik untuk mempelajari konsep organisasi. Mereka menggunakan pendekatan sistem terbuka dan mempertimbangkan banyak variabel yang ditiadakan dalam pandangan tradisional. Pendekatan behavioral juga telah dikembangkan terutama oleh para ahli psikologi, sosial dan antropologi yang tertarik untuk meneliti secara empiris dalam membuktikan konsep-konsep yang  mereka miliki. Secara khusus, mereka memiliki sebuah pandangan “kemanusiaan” dan mencoba memodifikasi bentuk organisasi yang lebih mempertimbangkan kepuasan partisipan. Banyak gagasan dari ilmuan behavioral yang penting  dalam memahami aspek kemanusiaan dari sebuah sistem dan akan dibahas lebih lengkap pada bagian 10, yaitu Aspek Behavioral Dari Perencanaan Sistem-Sistem”.
C.    Model Pengambilan Keputusan
Simon memfokuskan perhatian teori organisasinya pada proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Dia menolak banyak konsep tradisional dan menentukan proses pemecahan masalah kemanusiaan dan mekanisme keputusan sebagai kekuatan utama dalam organisasi behavioral. Sesuai dengan tesisnya, pelaku organisasi harus dipandang sebagai individu dengan keinginan, motif, tingkat aspirasi dan siapa saja yang memiliki batas rasional serta kapasitasnya dalam menyelesaikan masalah.
Simon menggunakan istilah “pengambilan keputusan” meskipun hal itu menyerupai “pengelolaan”. Pada tataran ini, model pengambilan keputusan memiiki tiga tingkat prinsip: intelegensi – mencari kondisi lingkungan yang dihubungkan dengan keputusan, perencanaan menciptakan, mengembangkan dan menganalisa kemungkinan tertentu dalam sebuah tindakan, Pilihan memilih tindakan tertentu dari alternatif pilihan yang tersedia.[5] Pada buku yang ditulis bersama March, Simon selanjutnya menggunakan proses pengambilan keputusan sebagai sebuah kerangka referensi untuk seterusnya mengatur teori organisasi yang lebih umum. Konsep kunci dari bukunya digambarkan sebagai berikut:
Ciri-ciri dan fungsi dasar struktur organisasi berasal dari karakteristik proses penyelesaian masalah manusia dan pilihan-pilihan rasionalnya. Karena batas-batas kapasitas intelek manusia dalam membandingkan kompleksitas masalah yang dihadapi individu dan organisasi, tingkah laku rasional membentuk model sederhana yang menangkap ciri utama dalam sebuah masalah tanpa mengambil semua kompleksitas yang dihadapi.[6]

Konsep-konsep tersebut benar-benar menambah teori organisasi tradisional dengan pengetahuan terkini dari ilmuan sosial tentang aspek motivasi, konflik kepentingan, persepsi dan pembatasan rasional, Semuanya itu dengan signifikan mempengaruhi model organisasi behavioral.
Di buku terbarunya, Cyert dan March mengembangkan teori gabungan dari perilaku bisnis dengan organisasi pengambilan keputusan. Premis dasar mereka adalah bahwa, untuk memahami pengambilan keputusan ekonomi saat ini, kita butuh supplement belajar mengenai faktor pasar dengan pelatihan operasional dalam sebuah firma –untuk mempelajari dampak bentuk organisasi dan praktek konfensional dalam mengembangkan tujuan, formasi harapan dan penentuan pilihan.[7]
Model organisasi ini dipandang sebagai sebuah sistem adaptasi (dengan banyak kepentingan kelompok yang disatukan dalam koalisi bebas) yang mengembangkan mekanisme untuk melarang ketidaktentuan, mengikutsertakan pencarian masalah, belajar melalui pengalaman dan mencari kepuasan yang lebih dari sekedar keputusan optimal. Pandangan ini memiliki hubungan dekat dengan pandangan kami dalam organisasi sebagai sebuah adaptasi sistem sosial.

D.    Teori Organisasi Modern (Sebuah Konsep Sistem)
Teori organisasi tradisional umumnya mencakup bagian-bagian dan golongan-golongan organisasi serta dikaitkan dengan pemisahan aktifitas-aktifitas ke dalam tugas dan unit operasional. Hal itu tidak cukup memberikan tekanan pada permasalahan hubungan antar anggota dan pengintegrasian aktifitas-aktifitas. Pandangan hubungan kemanusiaan juga tidak mencakup permasalahan ini.  Pendekatannya ditujukan pada adanya motivasi, aspirasi, keinginan dan pembatasan-pembatasan dalam model mekanistik tradisional. Pendekatan-pendekatan tersebut juga tidak menyediakan dasar integrasi, yaitu model organisasi yang sistematis.
Meningkatnya perhatian yang ditujukan pada dugaan bahwa cara paling berguna dalam study organisasi adalah dengan mempertimbangkannya sebagai sebuah sistem. Pandangan modern ini cenderung membicarakan organisasi sebagai sebuah sistem dari bagian dan variable yang tergantung satu sama lainnya dan usaha keras sebagai sistem sosial di dalamnya, lebih sebagai sistem masyarakat yang inklusif. Parson mendefinisikan organisasi sebagai berikut:
Tampaknya sesuai apabila mengartikan organisasi sebagai sebuah sistem sosial yang diorganisir untuk pencapaian jenis tujuan tertentu; Pencapaian tujuan tersebut pada saat yang sama merupakan sebuah kinerja fungsional atas nama sistem yang lebih inklusif, yaitu masyarakat.[8]

Teori organisasi modern dan teori sistem general berhubungan dekat, yaitu teori organisasi modern merupakan sebuah elemen khusus dari teori sistem general. Kedua-duanya menekankan perhatiannya pada investigasi dan hasil organisasi sebagai sebuah kesatuan yang menyeluruh. Bagaimanapun teori sistem general ditekankan pada 9 tingkat sistem seperti yang telah dibahas pada bab 1, dimana teori organisasi fokus utamanya adalah pada organisasi sosial kemanusiaan. Oleh karena itu, banyak konsep diambil dari investigasi dan penyelidikan mengenai tipe-tipe lain sistem dan diartikan sebagai sebuah penyelidikan tentang sistem organisasi kemanusiaan.[9]
1.      Pandangan sistem gabungan dari organisasi
Kami memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka, dimana sistem sosio-teknis diubah dari sejumlah subsistem, seperti digambarkan pada gambar 2-1.



 















Pada gambar tersebut, subsitem menerima input energi, informasi dan materi dari lingkungan, mengubahnya dan mengembalikannya menjadi out put untuk lingkungan.
Organisasi internal dapat dipandang sebagai pengubah sebagian besar subsistem. Nilai-nilai dan tujuan organisasi (Goals and Values) adalah satu dari hal penting pada subsistem tersebut. Organisasi mengambil banyak nilai-nilainya dari lingkungan sosiokultural yang lebih luas. Premis dasarnya adalah bahwa organisasi sebagai sebuah subsistem dari masyarakat harus menyelesaikan tujuan tertentu yang ditentukan oleh sistem yang lebih luas. Organisasi berperan untuk masyarakat dan jika berhasil menerima input, maka harus disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan sosial masyarakat tersebut.
Sistem teknis (technical subsistem) berarti pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas, termasuk teknik-teknik yang digunakan dalam perubahan input menjadi out put. Sistem teknis ditentukan oleh persyaratan dari organisasi dan oleh karena itu akan sangat tergantung pada aktivitas partikular. Teknologi seringkali menentukan tipe struktur organisasi dan sistem psikososial.[10]
Setiap organisasi memiliki sebuah sistem psikososial (psychosocial subsistem) yang berisi tingkah laku dan motivasi manusia, status dan aturan-aturan dalam berhubungan, dinamika kelompok, dan semua itu mempengaruhi sistem. Oleh karena itu, sistem psikososial dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang berhadapan dengan tugas, teknologi dan struktur internal organisasi.
Struktur organisasi (structural subsistem) dapat dipertimbangkan sebagai sebuah subsistem besar ketiga yang berada diantara sistem teknis dan sistem psikososial. Struktur organisasi memberikan penekanan pada cara-cara yang memisahkan (pembedaan) tugas-tugas organisasi dengan pengkoordinasian aktifitas-aktifitas (penggabungan). Dalam arti formal, struktur seterusnya dilihat oleh grafik organisasi, posisi dan job description (pembagian kerja) dan oleh aturan dan prosedur-prosedur. Selain itu, juga menekankan pada bentuk kekuasaan, komunikasi, dan aliran kerja. Struktur organisasi menyediakan bentuk formal antara subsistem teknik dan psikososial. Bagaimanapun, harus ditekankan bahwa hubungan ini tidak berarti lengkap dan bahwa banyak interaksi dan hubungan terjadi antara subsistem teknik dan psikososial yang melewati struktur formal.
Sistem pengelolaan menjangkau seluruh organisasi dengan menghubungkan organisasi dengan lingkungannya, mengatur tujuan-tujuan, dan perencanaan, pengorganisasian, serta menontrol kebutuhan akan aktifitas-aktifitas. Seperti disebutkan pada bab 1, ada tiga kunci subsistem dalam tingkatan administrasi pada organisasi yang komplek: penyelenggaraan, koordinasi, dan strategi. Tugas pengelolaan pada setiap subsistem sangat berbeda dan mensyaratkan perspektif yang tepat. Pada tiga bab selanjutnya kami akan memperlihatkan lebih dekat tugas-pengelolaan ddengan pertimbangan spesifik pada perencanaan, pengawasan dan mengkomunikasikan fungsi-fungsi.
2.      Tinjauan terhadap kemungkinan yang terjadi
Salah satu konsekuensi dari diterimanya pendekatan sistem dalam studi organisasi dan menejemen adalah penolakan atas pernyataan sederhana dari prinsip-prinsip organisasi atau menejemen. Teori organisasi modern menggambarkan sebuah pencarian bentuk dalam berhubungan, pembentukan antar subsistem dan tinjauan terhadap kemungkinan yang terjadi. Lorsch dan Lawrence mengatakan:
Selama beberapa tahun lalu telah terdapat bukti, yaitu model baru dalam fenomena penelitian organisasi. Yang mendasari pendekatan baru ini adalah gagasan bahwa fungsi-fungsi organisasi harus konsisten dengan permintaan tugas organisasi, teknologi atau lingkungan luar dan kebutuhan-kebutuhan anggota-anggotanya jika organisasi tersebut ingin menjadi efektif. Dari pada mencari obat manjur yang menjadi jalan terbaik dalam mengorganisasi di semua kondisi, para peneliti lebih cenderung melatih fungsi organisasi dalam hubungannya dengan kebutuhan anggota-anggotanya serta tekanan luar yang mereka hadapi. Pada dasarnya, pendekatan ini tampak memimpin dalam perkembangan teory contingency dalam organisasi dengan batas-batas internal yang tepat dan memproses kemungkinan-kemungkinan pengorganisasian pada persyaratan luar serta kebutuhan-kebutuhan anggotanya.[11]

Sejumlah peneliti lain memiliki penekanan pada masalah yang sama. Tompshon menganjurkan bahwa esensi dari administrasi diletakkan pada pemahaman tentang susunan dasar yang ada diantara berbagai subsistem dan lingkungan. Fungsi dasar administrasi tampak bersatu, tidak hanya pada gabungan orang per orang tetapi juga tindakan institusional (dari teknology dan tugas lingkungan) dalam kawasan aktif dan dari perencanaan organisasi serta bentuk yang tepat padanya.[12]
Akan tetapi, tidak cukup menyarankan bahwa pandangan contingency yang didasarkan pada konsep sistem organisasi dan pengelolannya lebih tepat dari pada  kesederhanaan pendekatan prinsip. Jika teori organisasi dimaksudkan untuk memajukan dan membuat peran dalam pelaksanaan manejemen, maka hal itu harus lebih jelas menentukan bentuk-bentuk tertentu dalam kerjasama antara variabel-variabel organisasi. Pandangan organisasi sebagai sebuah sistem sosio-teknik terbuka dalam interkasi dengan lingkungannya, menyediakan sebuah kerangka kerja untuk mengembangkannya.
Untungnya ada banyak contoh dari usaha-usaha pengembangan konsep-konsep hubungan bentuk-bentuk interaktif dalam kerjasama antara berbagai subsistem organisasi. Burns dan Stalker telah menyediakan contoh yang berguna dalam pendekataan ini.[13] Pada hipotesisnya, yang didukung oleh temuan-temuan penelitian, bahwa perbedaan susunan subsistem organisasi adalah ketepatan dalam mencakup stabilitas yang sesuai dengan ketidak stabilan teknologi dan lingkungan. Sistem organisasi yang mengadaptasi teknologi stabil diistilahkan sebagai mekanistik. Seperti sebuah sistem dicirikan memiliki ketentuan kaku dalam struktur organisasi. Terdapat tugas-tugas pokok: metode, kewajiban, dan kekuatan yang melekat pada setiap fungsi yang ditentukan dengan tepat. Hubungan dalam sistem pengelolaan cenderung vertikal antara superior dan subordinat, yaitu  perintah kuat hirarkis.
Sebaliknya, sistem pengelolaan organik paling baik diadaptasi pada kondisi-kondisi yang perubahan teknologi dan lingkungannya sangat cepat. Hal tersebut sesuai pada kondisi yang tidak stabil ketika masalah yang timbul tidak dapat dipecahkan dan disebarkan diantara tugas-tugas khusus dalam penentuan tingkatan yang jelas. Sistem organik  dicirikan dengan struktur yang relatif fleksibel. Pengaturan dan pendefinisian berkelanjutan mengenai tugas-tugas individu melalui kerjasama dengan lainnya, yaitu sebuah jaringan yang lebih luas dari pada kontrol hirarki, menekankan pada komunikasi lateral yang lebih luas, dan kekuatan dispersal yang luas didasarkan pada keahlian dan pengetahuan teknis yang lebih dari pada posisi hirarkis merupakan karakteristik sistem organik.
Pada akhirnya berdasarkan hal di atas serta temuan-temuan lainnya dapat disarankan bahwa:
Bentuk organisasi mekanistik merupakan sesuatu yang paling tepat untuk aktifitas-aktifitas rutin dan produktifitas merupakan tujuan utama, dimana teknologi relatif stabil dan seragam, dimana pengambilan keputusan dapat diprogramkan dan dimana tantangan lingkungan relatif stabil dan dapat ditentukan.
Bentuk organisasi organik (adaptif) merupakan sesuatu yang paling tepat untuk aktifitas-aktifitas yang tiadk rutin dimana kreatifitas dan inovasi sangat penting, dimana proses pengambilan keputusan birokrasi sangat dibutuhkan dan dimana lingkungan relatif tidak tentu dan berubah-rubah.

Tidak satupun sistem organisasi yang tepat untuk segala kondisi. Organisasi total, teknologi dan lingkungannya harus mempertimbangkan perencanaan yang paling tepat. Dikebanyakan organisasi akan ada campuran antara bentuk organik dan mekanistik. Contohnya, sebuah perkumpulan mungkin dengan baik diorganisasikan dengan bentuk mekanistik padahal penelitian dan pengembang departemennya mengadopsi bentuk organik.
Kita melihat pendekatan sistem sebagai sebuah dasar dalam membantu para ahli organisasi dan praktisi menejemen untuk memiliki pemahaman lebih baik tentang bentuk-bentuk kerjasama serta untuk merencanakan sistem organisasi yang akan memfasilitasi pertemuan variabel dari dalam subsistem dan lingkungan luar.

E.     RINGKASAN
Teori Sistem general menyatakan secara tidak langsung sebuah hubungan antar fungsional yang komplek pada komponen-komponen atau bagian-bagian. Organisasi bisnis dan institusi lain sebagai kerjasama antar manusia merupakan sebuah sistem terbuka.
Pemahaman yang mudah dan sederhana dari organisasi bisnis, yaitu Organisasi adalah perkumpulan orang, materi, mesin, dan sumber-sumber lainnya yang sanggup mencapai tujuan melalui rangkaian hubungan dan penyatuan dalam sistem sosial.
Perkembangan dalam skala besar, organisasi kompleks telah menjadi salah satu ciri utama produk atau pelayanan fisik, menunjukkan salah satu bentuk perkembangan yang paling tinggi dari organisasi sosial yang dimiliki manusia. Pada umumnya hal itu memiliki ciri-ciri peningkatan ukuran, pertumbuhan kompleks, spesialisasi kemampuan, peningkatan perbedaan tujuan, kelangsungan untuk menjumpai perubahan dan adaptasi permintaan eksternal.
Teori organisasi modern telah berkembang dari konsep organisasi tradisional yang menempatkan ketentuan pada struktur organisasi, hubungan hirarkis, kekuasaan, spesialisasi, jangkauan pengawasan dan kerjasama antar baris dan staff. Teori tradisional ini dimodifikasi secara substansial oleh pandangan behavioral yang menempatkan ketentuan lebih baik pada kebutuhan personal dan sosial dari partisipan dalam organisasi. Model Behavioral membawa pada garis depan konsep organisasi sebagai sebuah sistem total yang mencakup individu, kelompok informal, kerjasama antar kelompok dan struktur formal.
Pandangan modern membicarakan organisasi sebagai sebuah sistem yang variabel dan bagian-bagiannya saling tergantung satu sama lain, serta berusaha dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang berada dalam sistem masyarakat yang lebin inklusif dan luas. Jadi, organisasi adalah sebuah struktur, yaitu sebuah sistem sosio teknis yang berhubungan dengan lingkungannya. Organisasi menerima input energi, informasi, dan materi dari lingkungan, mengubahnya dan mengembalikan outputnya pada lingkungan. Organisasi internal dapat dipandang sebagai kumpulan beberapa subsistem utama, yaitu: (1) Nilai-nilai dan tujuan, (2) Teknologi, (3) Struktur, (4) Psikososial dan (5) Pengelolaan. Fungsi pengelolaan menjangkau seluruh organisasi dengan menghubungkan organisasi dengan lingkungannya, mengatur tujuan dan merencanakan, mengorganisasi dan mengontrol aktifitas-aktifitas yang dibutuhkan.
Salah satu konsekuensi dari diterimanya pendekatan sistem dalam studi organisasi dan menejemen adalah penolakan atas pernyataan sederhana dari prinsip-prinsip organisasi atau menejemen. Teori organisasi modern menggambarkan sebuah pencarian bentuk dalam berhubungan, pembentukan antar subsistem dan tinjauan terhadap kemungkinan yang terjadi. Dalam pandangan ini, tak satupun sistem organisasi yang tepat diterapkan dalam segala keadaan. Begitu juga organisasi total, teknologi dan keadaan lingkungannya harus dipertimbangkan dalam perencanaan sistem yang paling tepat.



[1] H.H, Gerth dan C. Wright Mills, From Max Webber:Essays in Sociology, oxford Universitt Press, New York,1946, p 214.
[2] Richard H. Hall,”The Concept of Bureaucracy: An empirical Assement” Americal Journal of Sociology, July 1963, p. 33.
[3] Bahasan birokrasi dan tugas-tugasnya dalam masyarakat modern dapat dilihat Peter M Blau, Bureucracy in Modern Society, Random House, Inc., New York, 1956.
[4] Permainan kata yang cukup menarik diungkapkan dengan tepat mengenai perbedaan antara teori organisasi klasik dan pendekatan hubungan kemanusiaan pada organisasi behavioral. Bennis menyebut teori tradisional sebagai “organisasi tanpa manusia” dan menyebut pendekatan hubungan kemanusiaan sebagai “orang-orang tanpa organisasi”. Warren C. Bennis, “Leadership Theory and Administration Behavior” Administrative Science Quarterly, Desember 1959, h. 263-366.
[5] Herbert A. Simon, The new Science of Management Decision, h.1-4.
[6] Marc and Simon, h.169
[7] Ricard M. Cyert dan James G. March, A Behavioral Theory of Firm, Prentice Hall, Inc.,Englewood Clift, N.J.,1963, h.1
[8] Talcott Parsons, “Suggestion for a Sociological Approach to the Theory of Organization”, Administrative Science Quarterly, September 1956. H. 238.
[9] Pembahasan menarik tentang hubungan antara teori organisasi dan teori sistem general dapat dilihat William G. Scott, “Organization Theory: An Overview and an Apraisal”, Journal of the Academy of management, April 1961 h. 7-26. Scott menganjurkan kerjasama antara Teori Sistem General dan teori organisasi sebagai berikut:
Seperti yang telah diketahui, teori organisasi modern hampir tak dapat dipisahkan termasuk ke dalam teori sistem general. Para ilmuan organisasi universal sangat mendukungnya, terutama para ahli biologi. Para ilmuan organisasi tidak dapat mengabaikan peranan teori sistem general dalam ilmu administrasi. Tentu saja, konsep organisasi modern dapat menyesuaikan pekerjaannya dengan teori sistem general.
[10] Pembahasan mengenai kerjasama antara sistem teknis dan sistem organisasi lainnya dapat dilihat pada G. M. Stalker. The Management of Innovation. Tavistock Publication, London, 1961.
[11] Jay W. Lorsch dan Paul R. Lawrence, Studies in Organization Design, Ricard D. Irwin, Inc. And Dorsey Press, Homewood, III, 1970, h. 1.
[12] Thompson, op.cit. h. 157.
[13] Burns dan Stalker, op.cit.